....mereka seolah melupakan segala jenis perbedaan dan keganjilan yang ada. Jika untuk mencintai saja teramat begitu sulit, kenapa kita begitu judmental sekali. Bukankah cinta itu untuk di rasakan, bukan untuk di hakimi. Dan kali ini gue bisa mikir jernih kalau ternyata semua orang itu butuh sesorang untuk berbagi. Terlepas dari masalah orientasi sexual, religi, adat dan culture mereka.
Dan apa yang gue liat, gue makin mengamini itu, bahwa...
"Cinta itu ada buat kami yang mengamininya. Buat kita yang mempercayainya. Dan buat mereka yang dengan setia menanti kehadirannya. Karena cinta tak akan pergi, ia akan hadir di saat kita masih bisa tersenyum walau kadang tersakiti olehnya”
Wednesday, December 30, 2009
L-0-V-E
Posted by Rudyprasetyo at 10:35 AM 0 comments
Monday, October 19, 2009
Kata tentang cinta
Katanya cinta tidak perlu di kondisikan untuk sekedar menjejak.
Katanya lagi, cinta itu kadang tak perlu tali untuk mengikatnya.
Dan katanya lagi, cinta itu cukup di rasakan untuk sekedar di pahami.
Tapi, di mana empat huruf itu di kala aku tidak menjejak, tidak memiliki tali dan di punya nalar untuk memahami.
Posted by Rudyprasetyo at 10:41 AM 1 comments
Labels: Cinta
Monday, October 12, 2009
Detik terakhir
Hari ini masih sama dengan hari-hari kemarin. Aku masih suka dengan gemerintik air hujan, semburat jingga di kala senja. Aku juga masih suka mengadahkan kepalaku ke langit biru takala buliran tangis tumpah dari kelopak mataku.
Namun ada satu hal yang berbeda hari ini....aku tak bisa lagi menangis dan berteriak lantang agar dapat di dengar olehmu.
Karena hanya dengan pintalan do'a, rajutan harap serta sulaman asa yang akan tertiup angin senja menghantarkan tepat ke pintu langit.
Mungkin ini adalah terakhir aku berbisik kepadamu, mungkin ini adalah kali aku menyentuhmu. Lucunya, hingga detik terakhir kepergianmu, kau masih saja mengajarkanku begitu banyak hal.
Satu di antaranya bagaimana kamu mengajarkan aku tentang cinta, hidup dan merelakan.untuk mengerti bahwa cinta dan sayang tidak membutuhkan tali untuk mengekangnya. ..dan aku mengerti sekarang.
Masih lekang di ingatanku, ritual yang kerap kita lakukan di celah detik kesibukan dunia. Melihat temaram kemilau senja, menyisir kaki langit dan mengkahiri malam dengan sebisik kisah di beranda rumah. Masih ingatkah saat kau tunjuk satu benderang sinar bintang dengan nyala satu bintang di sebelahnya. "Sebagai pelindung-ku kemarin, kini dan nanti", ujarmu kala itu.
Kamu tahu, kupikir aku akan jauh lebih hancur melihat butiran tanah yang menutupmu kaku tubuhmu. Namun aku sadar bukan kesedihan yang kamu inginkan, tetapi ke ikhlasan untuk terus tersenyum. Karena kamu yakin, cinta tak akan pernah butuh tali untuk mengikatnya. Dan aku percaya itu.
Hujan mengguyur tanah yang ku pijak dan satu persatu orangpun pergi meninggalkan kita. Tanpa sadar aku menitikan butiran kesedihan bersamaan dengan rintik air yang menerpa wajahku.
Terimakasih untuk kedatanganmu yang hanya sepenggal jalan ini....
Untuk semua yang di tinggalkan....dia akan selalau ada di samping kita, dalan nafas yang berbeda.
(Sehabis membaca kisah lelaki yang di tinggalkan istrinya karena kecelakaan)
Posted by Rudyprasetyo at 4:44 PM 0 comments
Tuesday, April 28, 2009
bara
Kata orang, kita gak akan pernah tahu dengan apa yang akan kita dapat, kita temui dan kita jalani kedepannya. Awalnya, gue nganggap itu semacam ucapan sok filsafat yang kesiangan aja. Akan tetapi, pada akhirnya gue memang harus mnyetujui hal itu. Bukan karena terpaksa menyetujui, tapi karena gue mengalami itu sendiri.
Dalam semesta, kita gak akan pernah tahu, bahkan sedetik kedepan pun semua masih berbalut misteri. Bahkan apa yang sebelumnya kita pikir itu berada di bawah kontrol diri, justru kita di perdaya oleh sesuatu yang tidak nyata. Dan keterikatan kita dengan semestalah yang akan menggiring kita menjumpai satu demi satu kejanggalan. Memilin menjadi sebuah fenomena baru, fenomena yang bahkan tidak pernah terlintas untuk terpikirkan. Seperti berpetualang dari satu galaksi ke galaksi lainya, menyerupai satu proyeksi hidup, suatu hologram nyata. Yang di dalamnya hakekat seperti bayangan yang menghubungkan batas ilusif dan realitas. Segala sesuatu di alam semesta ini saling berhubungan secara tak terbatas.
Sesuatu yang jauh di luar batas pemikiran diri, yang mengarahkan menuju satu pintu yang kuncinya entah ada di mana. Bukan keluarga, saudara, atau pacar gue sekalipun. Tapi justru mereka, yang menunjukan di mana letak kunci itu tergantung tanpa perlu di tanya, tanpa harus di sapa. Meraka bernama Bayu, Lintang dan Taruna. Tiga nama yang sebelumnya gak pernah terpikir kalau gue akan bersinggungan dengan mereka. Tiga nama yang mampu merubah apa yang gue mau menjadi sesuatu yang gue butuhin.
Oh ya, nama lengkap gue Swarna Bara Putra Perdana, nama yang cukup unik, tapi kalian cukup panggil gue dengan Bara. Orang tua gue mengharapkan gue seperti nyala kobaran api. Mandiri, punya semangat tinggi, keras dan berani. Harapan mereka pun nantinya agar gue bisa memberikan seketip nyala api itu kembali buat keluarga. Karena alasan itu pula, sejak lulus SMA gue memutuskan untuk keluar dari rumah, guna menemukan nyala api itu dengan sendirinya.
Dengan berbekal intelegensia yang cukup lumayan, gue mulai segala sesuatunya di luar kota. Kuliah pagi, kerja di salah satu retoran fast food selepas siang dan kemudian menjajakan suara di radio lokal malam harinya. Dan semua itu gue lakuin untuk menggapai satu impian, yang ironisnya sampai sekarangpun gue masih bimbang tentang makna mimpi itu sendiri. Yang gue tahu hanyalah kembali dan menaklukan belantara Jakarta.
Di rimba jakarta ini juga gue ketemu dia, Dimas. Orang yang hampir 5 tahun ini menemani tidur malam-malam gue. Dengan dia, gue mengiris sebahagian hati gue untuknya. Memotong serpihan hidup gue buatnya, total, tanpa terbagi.
***
Bippp..bipppp, suara ponsel membangunkan lelap tidur gue malam ini. Sebuah pesan singkat dari seorang teman, Mariana :
“Bar, gue ada gawean buat elo. Gak seberapa sih, tapi lo masih suka nulis kan? Kalo tertarik, Lo dateng ketemu bos gw di mertilang, Bintaro”
Gue hanya diam memandang tiap karakter kata di ponsel itu, tanpa pikiran apapun. Karena saat ini semua masalah nampak mendesak ingin di muntahkan sekaligus. Dan justru ini berujung pada sebuah keraguan diri. Sebuah keraguan akan harga eksistensi yang berbalik menjadi satu paradoks hidup gue kedepannya.
Jam di dinding menunjukan pukul 3 pagi, sekilas gue menatap Dimas, yang masih pulas tertidur di sebelahku. Ia nampak terkunci dalam mimpinya, setelah kami dengan buasnya merangkai tiap kata cinta dalam bentuk pagutan, intercourse dan berakhir dengan lenguhan panjang. Aku menatap dengan tatapan tanpa makna di dalamnya, tanpa dinamika.
“Phhiuuuhhhh”, aku hanya mampu menghela nafas panjang dan kemudian berjalan menuju bilik kamar mandi. Menyalakan kran air hangat dan membiarkan tiap buliran pancuran air membasuh tiap pori-pori di sekujur tubuh. Dan tak kentara, semua nampak seperti sebuah gerak lambat, yang membawa gue ke dimensi lain. Sebuah dimensi yang belum pernah gue jejak sebelumnya, meruntun setiap permasalahan yang menguntit dari balik kecemasan diri. Di sini gue yakin, semesta tengah coba mengurai helai demi helai lilitan yang berujung panjang itu. Sampai satu titik di mana tanpa sadar, mata gue sembab. Gue nangis…..namun justru di saat hati gue sedang tertawa terbahak-bahak. Tepat di saat gue coba menepiskan gelagat kesombongan diri.
“Gue nangis….untuk ke pertama kalinya sejak tahunan lalu”, dan gue gak tahu apa yang tengah gue tangisi….
***
“Mar, gue dah di depan nih. Lo keluar dong”, panggil gue melalui ponsel.
Tak selang berapa lama, sesosok perempuan yang gue kenal sejak 10 tahun yang lalu, menyelongok keluar dari pintu depan. Ahh, itu dia.
“Bar, gue dah bilang ke bos gue, Lo itu nantinya akan bantu dia sebagai asisten nya. Kerjaan Lo gampang, ngatur jadwal dia dan ngedit beberapa script “ celoteh Mariana sambil mengajaku masuk ke dalam.
“Oh yah, kebetulan semuanya lagi cuti lebaran, jadi agak sepi. Dan Lo gak balik kampung kan, Bar ?” lanjutnya memperhatikan mata gue yang sedang sibuk memfigurisasi sebuah kantor yang sepi ini.
“Sejak kapan gue punya kampung Mar, kampung dan rumah gue di mana-mana. Dan Lo tau itu” jawab gue.
Dan kemudian mengalirlah perbincangan ini itu yang berujung alasan kenapa gue resign.
“Basi gue sama patriot yang sok mengusung nama bangsa. Gak taunya tujuan mereka sama, menggerogoti nasib bangsa dengan berlindung pada jaringan keperintahan. Terlihat putih meski pekat di dalamnya” cerocos gue menerangkan alasan gue resign.
“Kenapa Lo gak ikutan juga, Bar. Lumayan buat masa depan Lo kan, ngumpulin pundi-pundi rekening Lo, hahahahahaha” timpalnya terbahak.
“Gue lebih salut sama orang yang melacur, Mar. Mereka sama-sama berdagang, tapi dengan cara lain, gak ngumpet dari balik elegansi keintelekan yang sengaja di buat-buat” seloroh gw berapi-api.
“Bara…baraa…Lo masih aja kayak dulu. Meledak-ledak, seperti muntahan lahar”
“You know me so well than…hehehehehe”
***
Satu individu sesungguhnya adalah bagian yang tak terbagi dari proyektor hidup yang lebih besar dan segala sesuatu saling berhubungan secara tak terbatas, maka telepati mungkin tidak lebih dari sekadar mengakses tingkat kecepatan proyektor hidup itu sendiri. Semua bernaung dalam satu ketukan makna. Kejadian…..
Akses internet yang seharusnya mampu menghubungkan
Posted by Rudyprasetyo at 4:49 PM 0 comments
Wednesday, March 11, 2009
cinta prit
Prita, 27 tahun, single dan bekerja sebagia Personal wedding Organizer. Jauh sebelum ia berkecimpung dengan pekerjaan nya ini, ia sudah memimpikan kalau ia akan membuat sebuah konsep pernikahanya yang jauh dari orang kebanyakan. Akan tetapi, ironisnya satu persatu ide dan konsep menggelar pernikahanya itu, justru ia kembangkan ke semua pasangan yang membutuhkan jasanya. Hingga suatu ketika ia berharap ia akan memiliki konsep itu untuk dirinya sendiri, setelah 100 pernikahan yang sudah ia tangani.
Namun semua itu hanya angan belaka, karena meskipun tinggal 1 pernikahan menuju yang ke 100 pun, ia tetap saja belum menemukan calon yang bisa ia ajak untuk menikah.
Hingga suatu ketika....
Kring....kring...kring...
"Selamat pagi, dengan Prita Dharmawan"
"Mbak, saya butuh Wedding advisor dan Orginizer "
Ini lah 100 pernikahan yang siap ia kerjakan.
***
Namanya Dimas, seorang lelaki berusia 30 tahun, tmenarik, tampan dan lebih anehnya ia datang bukan atas nama dirinya akan tetapi atas nama Kakak nya, Dany.Ia datang untuk meminta bantuan Prita sebagai wedding organizer pesta pernikahan kakaknya yang sekarang ini sedang menyelesaikan master di Amerika.
Pertemuan mereka yang di awali ke anehan itu ternyata membawa simpati kepada Prita, bagaimana tidak, ada seorang adik yang rela di repotkan oleh pernikahan kakaknya, dan memang Dimas sangat mencintai kakak nya itu. Mungkin karena sejak kecil selepas ayah mereka tiada, Dany yang selalu mengurus dirinya dsan ibunya.
Setelah beberapa kali kali pertemuan, ternyata diam-diam Prita tertarik dengan Dhimas. Dimas dengan tatapan teduhnya, dan suara baritone nya yang sangat khas itu terdengar begitu menyenangkan. Ia begitu terkesima setiap kali sehabis tertawa karena ocehan atau lawakanya, pasti Dimas akan segera terbatuk-batuk. Dan entah mengapa, Prita begitu mudah untuk menyukai Dimas, sangat sederhana untuk bisa menyukainya. Namun angan itu ia tepis dengan segera, karena ia berfikir apakah ini hanya sekedar angan yang kelamamaan menanti datangnya seseorang yang akan merengkuh impinya saja. Di samping itu, ia pun harus bersikap professional. Akan tetapi setiap pertemuan mendatangkan suasana baru buat Prita, ada hal yang makin ingin ia tahu dari sesosok Dimas.
***
Suatu ketika ketika ia ada janji untuk kembali bertemu dengan Dimas, dan lama ia menunggu di suatu café, hingga tak terasa malam beranjak tiba. Namun Dimas tak kunjung datang. Jauh di lubuk hati Prita, ia sangat menantikan tiap pertemuan dengan Dimas, sama halnya dengan kali ini, Prita berdandan secantik mungkin.
Sampai akhirnya ketika ia memutuskan untuk tidak lagi menunggu Dimas lebih lama, tiba-tiba Dimas datang dengan keadaan mabuk.Di sana ia mendengar ocehan Dimas yang ternyata dia mencintai calon kakak iparnya itu. Prita Shock bukan main. Namun dalam kegamngan nya itu, Prita tetap mampu mendegrakan setiap celoteh yang keluar dari mulut yang berbau alkhol itu. Ia mendengar bagaimana Dimas di minta oleh ibunya untuk menjaga Lana, kekasih kakaknya yang mengambil kuliah di universitas yang sama dengan nya di Australia. Awalnya tidak ada ketertarikan antara mereka, namun kedekatan mereka lambat laun menimbulkan rasa saling membutuhkan, memiliki dan mencintai satu sama lainya. Dimas pun berkata sejujurnya ia tak mau terlibat dalam hal ini, ia teringat akan kakaknya, dan tugas dia hanyalah menemani dan melindungi, bukan mencintai dan mengambil apa yang bukan ia miliki.
Kata-kata itu juga yang terngiang di dalam pikiran Prita, “tugas dia hanyalah menemani dan melindungi, bukan mencintai dan mengambil apa yang bukan ia miliki”.
***
Prita terdiam di ruang kerjanya, pikiranya tak tak fokus, diam diam dalam kegamangnya, ia menuliskan sesuatu di dalam secarik kertas, sebuah puisi bait “Untuk seratus kali pesta ia menebar bahagia, namun bukan buat dirinya. Untuk 100 ucapan selamat ia menuai doa, tapi bukan untuk dirinya, dan untuk 100 mimpi ia menggelar dengan khidmat, tapi bukan untuk dirinya…karena ia hanya butuh satu, satu yang kini pun jauh dari genggamanya…..”.
Tiba-tiba Dimas datang, dengan gerakan secepat kilat ia meremas kertas yang ia coret coret itu. Dimas tersenyum tulus, ahh senyum yang begitu menggoda pikir Prita. Dimas bercerita kalau ia semalam tak tahu di mana dan apa saja yang ia lakukan, yang hanya ia ingat adalah ia datang menemui Prita. Untuk itu ia meminta maaf, atas kejadian semalam yang membuat Prita menunggu.
***
Malam ini, sehabis melakukan kegiatan hal persiapan pernikahan kelar, Dimas mengajak Prita untuk menemaninya makan malam. Di sana kembali Dimas berkelakar tentang kelucuan dan tingkah polah Dany. Cara bertuturnya begitu menarik, begitu bersemangat seperti halnya nyala kembang api. Akan tetapi ada saat di mana ia nampak menyeruput Papermint Tea nya terlebih dahulu ketika ia harus menceritakan kisah percintaan Lana, calon kakak iparnya dengan Dany, seolah ia mencoba mengumpulkan sebuah keberanian di sana.
“Kamu sama seperti Lana, selalu siap memberi telinga untuk mendengar saya. Karena memang hanya itu yang saya butuhkan”, dan ucapanya itu mampu membuat rona wajah Prita memerah.
“Saya terbiasa untuk selalu mendengar, karena hanya itu yang bisa saya perbuat. Dahulu ketika saya banyak meminta, malah itu justru membuat saya tak nyaman. Sama seperti kamu, saya butuh untuk mendengar” jawab Prita halus sambil memandang lekat ke arah Dany yang sibuk membenamkan dirinya pada secangkir Papermint Tea nya.
***
Hari pernikahan semakin dekat, suatu ketika Dimas menelpon Prita untuk mengambil cicncin kawin pesanan Dany, nampak Dimas begitu tak bersemangat. Justru Dimas mengajak Prita ke suatu tempat.Di sana Dimas menceritakan sebuah cerita yang Prita pernah dengar ketika Dimas mabuk. Di sana mereka hanya duduk terdiam. Tapi mata mereka seolah menguntai mantra.
“Bimbang menyelimuti takdirku, apa ini yang harus aku raih, atau aku kubur selamanya"
"Biarkan busur itu melepas ringan, karena ia tahu kemana harus tertancapkan"
"Aku bimbang....karena tak memiliki keberanian untuk memilih"
"Aku ragu...karena bintang itu teramat benderang untuk ku raih"
“Jika memang kamu mencintainya, kejar, dan raihlah dia. Mungkin di ujung sana ia juga tengah menanti kamu untuk melakukan hal seperti itu”, suara Prita pun terlontar perlahan dari mulutnya, begitu mencekat urat nadi tenggorokanya.
Dimas menatap lekat ke arah Prita, seolah menyetujui apa yang baru saja di bicarakan Prita.
“Tapi, dia itu calon istri kakak aku Prita?”.
Prita hanya mengangguk pelan.
”Tak ada yang salah dengan Cinta, apapun nanti kejadianya, ungkapakn apa yang ingin kamu ungkapkan. Cinta ingin di dengar, masalah kamu memiliki dan di miliki adalah cerita lain dari sebuah cinta. Cinta butuh kejujuran”.
Dimas terdiam, seolah ia mendengar suara prita begitu indah, seolah ia melihat Prita bukan seperti Prita yang ia temui kemarin-kemarin. Kali ini Prita benar-benar nyata untuk mendengar dan di lihat.
“Pergilah, sebelum semuanya belum serumit seperti sekarang. Dimas pun pergi, dan prita hanya melihat Dimas semakin menjauh dan menjauh dari penglihatanya hingga hilang sama sekali dari hadapanya.
Tak sadar air mata Prita menetes perlahan. Mimpi dan doa nya tak akan pernah terjadi, ia memberikan solusi nyata mengenai cinta. Ia berani beraninya berkata cinta itu butuh kejujuran, padahal dirinya sendiri sama halnya dengan pengecut lainya, yang hanya mampu memendam rasa cinta tanpa bisa jujur.
***
Dalam ruang kerja nya, prita berusaha melupakan apa yang belakangan ini telah terjadi dengan dirinya. Ia menyibukan diri dengan setumpuk pekerjaanya. Ia hanya berfikir, mungkin kali ini Dimas tengah mengejar mimpi dan cintanya bersama Lana.
***
Kereta ini akan segera membawa dirinya berjarak ribuan kilo meter dari temptanya berdiri sekarang. Meninggalkan untuk sejenak apa yang memang harus tertinggal. Tiba tiba seorang anak kecil memberikan secarik amplop kepada Prita, tanpa nama tanpa apa-apa. Ia kebingungan mendapati itu dan anak kecil itu berlari menjauh sebelum sempat ia tanya siapa yang memberikan amplop itu.
Prita membuka amplop tersebut dan isinya adalah secarik kertas lusuh yang dulu pernah ia coret...
“Untuk seratus kali pesta ia menebar bahagia, namun bukan buat dirinya. Untuk 100 ucapan selamat ia menuai doa, tapi bukan untuk dirinya, dan untuk 100 mimpi ia menggelar dengan khidmat, tapi bukan untuk dirinya…karena ia hanya butuh satu, satu yang kini pun jauh dari genggamanya…..”.
Dan di bagian akhir dari surat itu, ada satu kalimat tambahan yang jelas bukan tulisan tanganya.
“Satu orang itu berterima kasih untuk sebuah pelajaran cinta. Kadang Cinta juga ingin di dengar walau ia tak terucap. Aku sudah jujur terhadap cintaku, namun kejujuran tidak selalu harus saling memiliki, karena ada jiwa lain yang tengah menanti sebuah cinta yang terlantun untuk di miliki. Dan satu orang itu...aku” –Dimas-.
Selesai membaca surat itu, Prita di kagetkan oleh suara batuk yang memang ia ingin sekali dengar saat ini, dan begitu ia menoleh ke arah belakang, Dimas telah ada di hadapanya, begitu nyata.
Posted by Rudyprasetyo at 5:19 PM 0 comments
Labels: Cinta
Tuesday, February 24, 2009
melepasmu
Langit makin menghitam, seolah butiran air langit siap menumpahkan sedu sedan nya
“Tolong, jangan menangis lagi. Aku juga sama seperti kamu…Terluka”
Dan ia masih saja menitikan air mata, meski tak bersuara sedikitpun.
“Ku mohon...diam sejenak!”Pintanya lirih
Dalam linang air matanya, ia menyulut sebatang rokok ke mulutnya. Menghisap sedalam dalamnya dan mengepulkan asap itu keluar, lepas bersama beban yang sedari tadi terpendam.
“Mungkin ini yang di namakan takdir..”, akhirnya suara itu muncul di antara kering air matanya.
“Takdir yang membawa kita bertemu, dan akhirnya takdir itu pula yang membawa kita untuk seolah tidak pernah bertemu lagi”, lanjutnya lirih sambil mengelurakan kepulan asap nikotin dari paru parunya.
“Ini karena memang sudah saatnya, bukan takdir yang memilih kita, tapi kita, aku yang memilih untuk masuk kedalam perangkap semu hidup dan mengkaitkan dengan menyebut takdir”aku pun kembali bersuara
Dan kembali terdiam, hening. Bahkan detak jantung pun seolah terdengar berdegup berlari bersama sang waktu yang telah merampas ganas sebuah rasa yang biasa ia sebut kenangan.
Matanya menatap ke arahku, tapi itu bukan sebuah tatapan benci atau hina. Tatapan kosong…
Deru ini terasa menyesak, mengambil separuh nafasku…..
Kiranya malaikat sedang asyik mengasah pisau hidupnya untuk segera di tancapkan tepat ke ulu hati ini.
***
“Mengapa…?”
“Aku tak tahu”
“Kenapa kamu harus pergi dengan cara ini?”
“Karena ini adalah salah satunya cara untuk bisa pergi”
“Denagn mencoba untuk menyakiti aku?”
“Bukan untuk menyakiti, namun untuk mencari alasan”
“Iya, Alasan untuk berpaling dari aku kan???” suaranya agak sedikit meninggi.
Aku diam….
“Alasan untuk tidak menyakitimu lebih jauh lagi”, ujarku.
“Aku tahu sejak awal….hanya saja aku tahan, kupikir kamu akan berfikir ulang untuk itu”
“Kenapa kamu tidak menahan sejak dulu?”
“Ku pikir kamu bisa merasakan sinyal itu”
“Bahwa kamu tidak ingin aku pergi???”
“Bukan….”
“Bukan??”
“Kupikir aku bisa memahami sedikit tentang kamu”
“memahami ?”
“Memahami bahwa memang selayaknya kamu mendapatkan kebahagian yang lebih dari aku”
Tersentak aku berfikir ulang, merajut kembali sisa kenangan bersamanya. Aku terkejut dengan pernyataanya.
“Tapi aku tak sanggup…..untuk bisa berjalan seoarang diri”
Ku tatap wajahnya. Ia menunduk, dadanya berguncang menahan tangis.
“Aku tahu ini tak akan mudah untuk aku, untuk kamu..untuk kita” lanjutnya terisak.
Ku langkahkan kakiku, selangkah lebih dekat denganya.
“Tolong….tetap berada di sana”, pintanya seolah tahu aku ingin mencoba mendekap dirinya.
***
Hujanpun akhirnya meretas di gelap malam ini. Ia seolah berbahasa, seolah iangitpun tengah menangis terisak.
Dan aku masih satu langkah tepat di hadapnya, tak bergeming.
“Mungkin ia memang layak untuk mu…maafkan aku”
“Untuk apa?”
“Untuk membuat semua ini tak seperti yang kamu impikan”
Kembali aku tersentak….
“Dan inikah yang biasa di sebut sebagai pencuri waktu…
seperti berjumpa namun tak ada bedanya dengan berpisah…”
Dan kini bukan aku yang melangkahkan kakinya, mendekat ke arahku, dan berdiri hanya beberapa milimeter saja dari hadapanku.
Wajahnya dan wajahku saling bertatapan. Ada sejumlah kelu di ujung bola matanya, tertutup kabut kelam, tanpa setitik cahayapun.
Kudapati sebuah tatapan yang sama, seperti dahulu aku pernah dapatkan…
Sebuah perasaan tak tertebak, menyentak dan mengejutkan.
Sebuah perasaan yang mengingatkan aku saat pertama kali kita bercinta dengannya.
Dengan lembut ia merangkul tubuhku. Erat….hingga nafsanya pun terdengar menderu di telingaku. Namun kali ini bukan deru nafas amarah atau kebencian….nafasnya sangat teratur, berdinamika seperti sebuah nyanyian cinta.
Nafas yang seolah bercerita….
Apa yang kupikir sulit untuk di lepas, kini seolah mengalun damai….
Menyublim di tiap pembuluh darah
Menguap di setiap pori pori kulit…..begitu ringan
Dan perlahan, ku sapa erat dekapanya…
Lepaskan….tanpa harus terdorong,
Membuka tanpa harus di rusak….
Menjauh tanpa harus terpisah…
Peluk ini terasa begitu damai….begitu nikmat…dan indah.
Seolah ini bukanlah peluk perpisahan, melainkan peluk selamat datang.
Jika jiwa adalah melodi, maka cinta adalah raganya…
Pergilah bersama dengan mimpimu wahai bintang utaraku…..
Saat kau lepaskan aku dengan segenap keikhlasan jiwa, itu adalah wujud cinta mu yang tak terperi
Ya, meski berat, aku akan kembali berjalan di setapak kecil langkahku…tanpa harus ada kamu.
Tanpa harus ada aku..kita…karena kamu sudah teramat istimewa tanpa harus ada aku
Aku sangat mencintaimu….
Aku mencintaimu lebih dari yang kamu bayangkan….
Hyde Park,
Summer, 210806
Posted by Rudyprasetyo at 3:26 AM 0 comments
Labels: Cinta