Tuesday, April 28, 2009

bara

Kata orang, kita gak akan pernah tahu dengan apa yang akan kita dapat, kita temui dan kita jalani kedepannya. Awalnya, gue nganggap itu semacam ucapan sok filsafat yang kesiangan aja. Akan tetapi, pada akhirnya gue memang harus mnyetujui hal itu. Bukan karena terpaksa menyetujui, tapi karena gue mengalami itu sendiri.

Dalam semesta, kita gak akan pernah tahu, bahkan sedetik kedepan pun semua masih berbalut misteri. Bahkan apa yang sebelumnya kita pikir itu berada di bawah kontrol diri, justru kita di perdaya oleh sesuatu yang tidak nyata. Dan keterikatan kita dengan semestalah yang akan menggiring kita menjumpai satu demi satu kejanggalan. Memilin menjadi sebuah fenomena baru, fenomena yang bahkan tidak pernah terlintas untuk terpikirkan. Seperti berpetualang dari satu galaksi ke galaksi lainya, menyerupai satu proyeksi hidup, suatu hologram nyata. Yang di dalamnya hakekat seperti bayangan yang menghubungkan batas ilusif dan realitas. Segala sesuatu di alam semesta ini saling berhubungan secara tak terbatas.

Sesuatu yang jauh di luar batas pemikiran diri, yang mengarahkan menuju satu pintu yang kuncinya entah ada di mana. Bukan keluarga, saudara, atau pacar gue sekalipun. Tapi justru mereka, yang menunjukan di mana letak kunci itu tergantung tanpa perlu di tanya, tanpa harus di sapa. Meraka bernama Bayu, Lintang dan Taruna. Tiga nama yang sebelumnya gak pernah terpikir kalau gue akan bersinggungan dengan mereka. Tiga nama yang mampu merubah apa yang gue mau menjadi sesuatu yang gue butuhin.

Oh ya, nama lengkap gue Swarna Bara Putra Perdana, nama yang cukup unik, tapi kalian cukup panggil gue dengan Bara. Orang tua gue mengharapkan gue seperti nyala kobaran api. Mandiri, punya semangat tinggi, keras dan berani. Harapan mereka pun nantinya agar gue bisa memberikan seketip nyala api itu kembali buat keluarga. Karena alasan itu pula, sejak lulus SMA gue memutuskan untuk keluar dari rumah, guna menemukan nyala api itu dengan sendirinya.

Dengan berbekal intelegensia yang cukup lumayan, gue mulai segala sesuatunya di luar kota. Kuliah pagi, kerja di salah satu retoran fast food selepas siang dan kemudian menjajakan suara di radio lokal malam harinya. Dan semua itu gue lakuin untuk menggapai satu impian, yang ironisnya sampai sekarangpun gue masih bimbang tentang makna mimpi itu sendiri. Yang gue tahu hanyalah kembali dan menaklukan belantara Jakarta.
Di rimba jakarta ini juga gue ketemu dia, Dimas. Orang yang hampir 5 tahun ini menemani tidur malam-malam gue. Dengan dia, gue mengiris sebahagian hati gue untuknya. Memotong serpihan hidup gue buatnya, total, tanpa terbagi.

***

Bippp..bipppp, suara ponsel membangunkan lelap tidur gue malam ini. Sebuah pesan singkat dari seorang teman, Mariana :
“Bar, gue ada gawean buat elo. Gak seberapa sih, tapi lo masih suka nulis kan? Kalo tertarik, Lo dateng ketemu bos gw di mertilang, Bintaro”

Gue hanya diam memandang tiap karakter kata di ponsel itu, tanpa pikiran apapun. Karena saat ini semua masalah nampak mendesak ingin di muntahkan sekaligus. Dan justru ini berujung pada sebuah keraguan diri. Sebuah keraguan akan harga eksistensi yang berbalik menjadi satu paradoks hidup gue kedepannya.

Jam di dinding menunjukan pukul 3 pagi, sekilas gue menatap Dimas, yang masih pulas tertidur di sebelahku. Ia nampak terkunci dalam mimpinya, setelah kami dengan buasnya merangkai tiap kata cinta dalam bentuk pagutan, intercourse dan berakhir dengan lenguhan panjang. Aku menatap dengan tatapan tanpa makna di dalamnya, tanpa dinamika.

“Phhiuuuhhhh”, aku hanya mampu menghela nafas panjang dan kemudian berjalan menuju bilik kamar mandi. Menyalakan kran air hangat dan membiarkan tiap buliran pancuran air membasuh tiap pori-pori di sekujur tubuh. Dan tak kentara, semua nampak seperti sebuah gerak lambat, yang membawa gue ke dimensi lain. Sebuah dimensi yang belum pernah gue jejak sebelumnya, meruntun setiap permasalahan yang menguntit dari balik kecemasan diri. Di sini gue yakin, semesta tengah coba mengurai helai demi helai lilitan yang berujung panjang itu. Sampai satu titik di mana tanpa sadar, mata gue sembab. Gue nangis…..namun justru di saat hati gue sedang tertawa terbahak-bahak. Tepat di saat gue coba menepiskan gelagat kesombongan diri.
“Gue nangis….untuk ke pertama kalinya sejak tahunan lalu”, dan gue gak tahu apa yang tengah gue tangisi….

***

“Mar, gue dah di depan nih. Lo keluar dong”, panggil gue melalui ponsel.
Tak selang berapa lama, sesosok perempuan yang gue kenal sejak 10 tahun yang lalu, menyelongok keluar dari pintu depan. Ahh, itu dia.
“Bar, gue dah bilang ke bos gue, Lo itu nantinya akan bantu dia sebagai asisten nya. Kerjaan Lo gampang, ngatur jadwal dia dan ngedit beberapa script “ celoteh Mariana sambil mengajaku masuk ke dalam.
“Oh yah, kebetulan semuanya lagi cuti lebaran, jadi agak sepi. Dan Lo gak balik kampung kan, Bar ?” lanjutnya memperhatikan mata gue yang sedang sibuk memfigurisasi sebuah kantor yang sepi ini.
“Sejak kapan gue punya kampung Mar, kampung dan rumah gue di mana-mana. Dan Lo tau itu” jawab gue.
Dan kemudian mengalirlah perbincangan ini itu yang berujung alasan kenapa gue resign.
“Basi gue sama patriot yang sok mengusung nama bangsa. Gak taunya tujuan mereka sama, menggerogoti nasib bangsa dengan berlindung pada jaringan keperintahan. Terlihat putih meski pekat di dalamnya” cerocos gue menerangkan alasan gue resign.
“Kenapa Lo gak ikutan juga, Bar. Lumayan buat masa depan Lo kan, ngumpulin pundi-pundi rekening Lo, hahahahahaha” timpalnya terbahak.
“Gue lebih salut sama orang yang melacur, Mar. Mereka sama-sama berdagang, tapi dengan cara lain, gak ngumpet dari balik elegansi keintelekan yang sengaja di buat-buat” seloroh gw berapi-api.
“Bara…baraa…Lo masih aja kayak dulu. Meledak-ledak, seperti muntahan lahar”
“You know me so well than…hehehehehe”

***

Satu individu sesungguhnya adalah bagian yang tak terbagi dari proyektor hidup yang lebih besar dan segala sesuatu saling berhubungan secara tak terbatas, maka telepati mungkin tidak lebih dari sekadar mengakses tingkat kecepatan proyektor hidup itu sendiri. Semua bernaung dalam satu ketukan makna. Kejadian…..

Akses internet yang seharusnya mampu menghubungkan

0 comments:

Baca tulisan cinta berikutnya :



Widget by Hoctro
ditambahkan oleh koeaing!

Sapa Cinta


View My Stats

Gulungan film Favorit Rudy

Sabar lagi loading...
Sabar lagi loading...

Tak temukan cinta disini ? Kenapa tidak mencoba mesin cinta yang ini :

Google